Situs Gunung Padang merupakan situs prasejarah
peninggalan kebudayaan Megalitikum
di Jawa Barat.
Tepatnya berada di perbatasan Dusun Gunungpadang dan Panggulan, Desa Karyamukti, Kecamatan Campaka, Kabupaten Cianjur.Lokasi
dapat dicapai 20 kilometer dari persimpangan kota kecamatan WarungKondang,
dijalan antara Kota Kabupaten Cianjur dan Sukabumi. Luas kompleks
"bangunan" kurang lebih 900 m², terletak pada ketinggian 885 m dpl, dan areal
situs ini sekitar 3 ha,
menjadikannya sebagai kompleks punden berundak
terbesar di Asia
Tenggara.
Penemuan
Laporan
pertama mengenai keberadaan situs ini dimuat pada Rapporten van de
Oudheidkundige Dienst (ROD, "Buletin Dinas Kepurbakalaan") tahun
1914. Sejarawan Belanda, N. J. Krom juga telah menyinggungnya pada tahun
1949. Setelah sempat "terlupakan", pada tahun 1979 tiga penduduk
setempat, Endi, Soma, dan Abidin, melaporkan kepada Edi, Penilik Kebudayaan
Kecamatan Campaka, mengenai keberadaan tumpukan batu-batu persegi besar dengan
berbagai ukuran yang tersusun dalam suatu tempat berundak yang mengarah ke Gunung Gede[1]. Selanjutnya,
bersama-sama dengan Kepala Seksi Kebudayaan Departemen Pendidikan Kebudayaan
Kabupaten Cianjur, R. Adang Suwanda, ia mengadakan pengecekan. Tindak lanjutnya
adalah kajian arkeologi, sejarah, dan geologi yang dilakukan Puslit Arkenas pada tahun 1979 terhadap
situs ini.
Lokasi
Lokasi situs
berbukit-bukit curam dan sulit dijangkau. Kompleksnya memanjang, menutupi
permukaan sebuah bukit yang dibatasi oleh jejeran batu andesit besar berbentuk
persegi. Situs itu dikelilingi oleh lembah-lembah yang sangat dalam[1]. Tempat ini
sebelumnya memang telah dikeramatkan oleh warga setempat.[2] Penduduk
menganggapnya sebagai tempat Prabu Siliwangi, raja Sunda,
berusaha membangun istana dalam semalam.
Fungsi
Fungsi situs
Gunungpadang diperkirakan adalah tempat pemujaan bagi masyarakat yang bermukim
di sana pada sekitar 2000 tahun SM.[2] Hasil
penelitian Rolan Mauludy dan Hokky Situngkir menunjukkan kemungkinan adanya
pelibatan musik dari beberapa batu megalit yang ada[3]. Selain Gunungpadang,
terdapat beberapa tapak lain di Cianjur yang merupakan peninggalan periode
megalitikum.
Penelitian
Sejak Maret
2011, tim peneliti katastrofi purba yang dibentuk kantor Staf Khusus Presiden
Bidang Bantuan Sosial dan Bencana, dalam survei untuk melihat aktifitas sesar
aktif Cimandiri yang melintas dari Pelabuhan Ratu sampai Padalarang melewati
Gunung Padang. Ketika tim melakukan survei bawah permukaan Gunung Padang
diketahui tidak ada intrusi magma. Kemudian tim peneliti melakukan survei bawah
permukaan Gunung Padang secara lebih lengkap dengan metodologi geofisika, yakni
geolistrik, georadar, dan geomagnet di kawasan Situs tersebut. Hasilnya,
semakin meyakinkan bahwa Gunung Padang sebuah bukit yang dibuat atau dibentuk
oleh manusia (man-made). Pada November 2011, tim yang dipimpin oleh Dr. Danny
Hilman Natawidjaja,[4] terdiri dari
pakar kebumian ini semakin meyakini bahwa Gunung Padang dibuat oleh manusia
masa lampau yang pernah hidup di wilayah itu.
Survei
Pemerintah Indonesia
Hasil survei
dan penelitian kemudian dipresentasikan pada berbagai pertemuan ilmiah baik di
tingkat nasional maupun internasional, bahkan mendapat apresiasi dari Prof. Dr.
Oppenheimer. Kemudian tim katastrofi purba
menginisiasi pembentukan tim peneliti yang difokuskan untuk melakukan studi
lanjutan di Gunung Padang[5], dimana para
anggota peneliti diperluas dan melibatkan berbagai bidang disiplin ilmu dan
berbagai keahlian. Sebut saja Dr. Ali Akbar seorang peneliti prasejarah dari
Universitas Indonesia, yang memimpin penelitian bidang arkeologi. Kemudian Pon
Purajatnika, M.Sc., memimpin penelitian bidang arsitektur dan kewilayahan, Dr.
Budianto Ontowirjo memimpin penelitian sipil struktur, dan Dr. Andang Bachtiar seorang pakar paleosedimentologi, memimpin penelitian
pada lapisan-lapisan sedimen di Gunung Padang. Seluruh tim peneliti itu
tergabung dalam Tim Terpadu Penelitian Mandiri Gunung Padang yang difasilitasi
kantor Staf Khusus Presiden Bidang Bantuan Sosial dan Bencana. Menariknya
seluruh pembiayaan penelitian dilakukan secara swadaya para anggota peneliti.[6]
Berbagai
temuan tim terpadu penelitian mandiri Gunung Padang ini akhirnya dilakukan uji
radiometrik karbon (carbon dating, C14). Menariknya hasil uji karbon pada
laboratorium Beta Miami, di Florida AS, menera bahwa karbon
yang didapat dari pengeboran pada kedalaman 5 meter sampai dengan 12 meter
berusia 14.500-25.000 tahun. Hasil laporan selengkapnya sebagai-berikut:
Bangunan di
bawah permukaan situs Gunung Padang terbukti secara ilmiah lebih tua dari
Piramida Giza.[7] Hal ini merujuk
pada hasil pengujian karbon dating Laboratorium Batan (Indonesia) dengan metoda
LSC C14 dari material paleosoil di kedalaman -4m pada lokasi bor
coring 1, usia material paleosoil adalah 5500 +130 tahun BP yang lalu.
Sedangkan pengujian material pasir di kedalaman -8 s.d. -10 m pada lokasi
coring bor 2 adalah 11000 + 150 tahun.
Hasil
Laboratorium Beta Analytic Miami
Hasil
mengejutkan dan konsisten dikeluarkan oleh laboratorium Beta Analytic Miami,
Florida,minggu lalu tambahnya dimana umur dari lapisan dari kedalaman sekitar 5
meter sampai 12 meter bada bor 2 umurnya sekitar 14500 – 23000 SM/atau lebih
tua. Sementara beberapa sample konsisten dengan apa yg di lakukan di Lab BATAN.
Kita tahu laboratorium di Miami Florida ini bertaraf internasional yang kerap
menjadi rujukan berbagai riset dunia terutama terkait carbon dating.[8]
Kedua
laboratorium ini menjawab keraguan banyak pihak atas uji sampel di laboratorium
BATAN.
Sebelumnya,tim riset terpadu mandiri telah melakukan uji terkait usia Gunung
Padang di laboratorium BATAN,
namun tidak banyak respon positif, bahkan meragukannya. Padahal hasil yang
diperoleh oleh kedua laboratorium itu tidak banyak berbeda, Sudah saatnya kita
percaya terhadap kemampuan dan kualitas para ilmuwan serta laboratorium
nasional seperti BATAN, berikut
hasil uji di kedua laboratorium tersebut:
Umur dari
lapisan tanah di dekat permukaan (60 cm di bawah permukaan) ,sekitar 600
tahun SM (hasil carbon dating dari sampel yg diperoleh
Arkeolog, Dr. Ali Akbar,anggota tim riset terpadu di Laboratorium Badan Atom
Nasional (BATAN).
Umur dari
lapisan pasir-kerikil pada kedalaman sekitar 3-4 meter di Bor-1 yang melandasi
Situs Gunung Padang di atasnya (sehingga bisa dianggap umur ketika Situs Gunung
Padang di lapisan atas dibuat) sekitar 4700 tahun SM atau lebih tua (diambil
dari hasil analisis BATAN.
Umur lapisan
tanah urug di kedalaman 4 meter diduga man made stuctures (struktur yang dibuat
oleh manusia)dengan ruang yang diisi pasir (di kedalaman 8-10 meter) di bawah
Teras 5 pada Bor-2,sekitar 7600-7800 SM (Laboratorium BETA Miami, Florida).[9]
Umur dari
pasir yang mengisi rongga di kedalaman 8-10 meter di Bor-2, sekitar 11.600-an
tahun SM atau lebih tua (Lab Batan).
Umur dari
lapisan dari kedalaman sekitar 5 meter sampai 12 meter,sekitar 14500 – 25000
SM/atau lebih tua (lab BETA Miami
Florida).
Sebelumnya
tim riset katastropik purba dan dilanjutkan tim terpadu penelitian mandiri
Gunung Padang menemukan beberapa hal penting:
Penelitian
Lebih Lanjut
Pembukaan
semak-semak pada sisi Tenggara teras 5 ke arah bawah menemukan 20 tingkat
terasering punden berundak disusun oleh masyarakat yang berbudaya gotong royong
mempunyai kemampuan teknologi yang maju. Terasering punden berundak ini
mematahkan hipotesis penelitian sebelumnya bahwa situs gunung Padang hanya
terdiri dari 5 teras pada area seluas 900 m2. Dengan dibukanya 20 tingkat
terasering menunjukan bahwa situs gunung Padang sangat besar. Diperkirakan zona
inti utama situs gunung Padang lebih besar dari 25 hektare.[10][11]
Pembukaan
semak-semak dan hasil pemindaian bumi dengan Georadar pada sisi Timur teras 2
ke arah bawah menemukan bentuk struktur pintu gerbang buatan manusia. Hasil
pengambilan sampel dengan bor coring 1, memastikan struktur buatan manusia
sampai dengan kedalaman -27m dari permukaan teras 3. Hasil pengambilan sampel
dengan bor coring 2, menemukan struktur rongga2 besar buatan manusia yang
berisi pasir dengan butiran yang sangat seragam. Sedangkan, hasil pengukuran
dengan geomagnetik menemukan anomali medan magnetik yang besar pada teras 2.
Adanya
tanda-tanda berbentuk gambar atau cekungan buatan manusia pada setiap batu yang
berada di teras 1 s.d. 5. Penelitian mengenai makna bentuk gambar dan aksara
yang terbentuk pada batu breksi andesit merupakan hal terbaru.[12]
Selain riset
dan survei, kajian pustaka terus dilakukan. Naskah Bujangga Manik dari abad ke-16 menyebutkan suatu tempat
"kabuyutan"
(tempat leluhur yang dihormati oleh orang Sunda) di hulu Ci Sokan, sungai yang diketahui berhulu di
sekitar tempat situs ini[13]. Menurut
legenda, Situs Gunung Padang merupakan tempat pertemuan berkala (kemungkinan
tahunan) semua ketua adat dari masyarakat Sunda Kuna. Saat ini situs ini juga
masih dipakai oleh kelompok penganut agama asli Sunda untuk melakukan pemujaan.
Penelitian
mengenai keberadaan bangunan di bawah permukaan Gunung Padang telah dilakukan
oleh beberapa tim ahli. Tim dari Badan Geologi ESDM, Kemenristek, dan Tim Arkeologi Nasional sudah menyimpulkan
bahwa tidak ada bangunan di bawah permukaan gunung padang. Adapun luasan gunung
padang adalah 900 meter persegi seperti sejak ditemukan NJ Krom. Ini kesimpulan
akhir yang secara resmi hasil risetnya ada tertulis. Tim keempat, Tim terpadu
Riset mandiri berkesimpulan berbeda dan sudah menemukan bukti kuat sebagai
fakta awal bahwa ada bangunan di bawah permukaan gunung Padang, dan luasannya
jauh lebih besar dari yang ada sekarang seperti yang disimpulkan ketiga tim
lainnya. Dengan prinsip menghargai perbedaan dan menjaga etika riset, maka
menjadi kewajiban tim terpadu untuk membuktikan lebih lanjut keseluruhan
hipotesanya.
Jika dilihat
dari atas, gunung padang terlihat sangat persis bentuknya dengan piramida yang
ada di mesir. Umurnya diperkirakan jauh lebih tua dari pada piramida mesir
sekitar 10.000 tahun sebelum masehi. Karena sesungguhnya gunung padang bukanlah
gunung melainkan bangunan berbentuk mirip dengan piramida yang telah terkena
timbunan debu vulkanik sehingga terlihat seperti gunung yang sudah ditumbuhi
pepohonan. Didalam gunung padang dipercaya memiliki ruang di dalamnya yang kini
telah tertimbun tanah.
Dalam situs
gunung padang ditemukan alat musik yang berupa batu persegi panjang yang
bergelombang pada bagian atasnya, jika setiap gelombang dipukul, maka akan
mengeluarkan bunyi yang berbeda antar gelombang satu dengan yang lain.
Situs Gunung
Padang Adalah Piramida
Dhani Irawan
- detikNews Jakarta - Misteri masih menyelimuti situs Gunung Padang yang berada
di Kabupaten Cianjur. Seorang arkeolog asal Bosnia Herzegovina, Semir Sam
Osmanagich meyakini jika situs megalitik itu bisa dimasukkan ke dalam kategori
peradaban piramida.
"Struktur
bangunan piramida semuanya sama. Situs Gunung Padang sangat penting
keberadaannya bagi ilmu pengetahuan dalam dan luar negeri," kata Sam saat
diskusi soal situs Gunung Padang, di Auditorium Plaza Bank Mandiri, Jl Gatot
Subroto, Rabu (14/5/2014).
Menurut Sam,
piramida adalah sebuah bangunan atau bukit yang dimodifikasi oleh manusia.
Namun pertanyaan yang kemudian muncul adalah siapa yang membangun situs itu dan
bagaimana.
Sam pun
mengatakan pembangunan piramida mempertimbangkan hal mendasar seperti
lingkungan, sumber daya alam dan sumber daya manusia. Sam melanjutkan, para
pembangun piramida adalah manusia jenius yang mampu memanipulasi alam dan
memanfaatkan energi di sekitarnya.
Sebenarnya
situs ini sudah diteliti sejak 1914. Kemudian yang terbaru adalah Tim Terpadu Riset
Mandiri Gunung Padang yang melakukan penelitian independen pada tahun 2011
sampai 2013.
Kontroversi
Ada beberapa
orang yang percaya kalau situs gunung padang memiliki keterkaitan dengan situs
piramida yang ada di mesir, dikarenakan bentuknya yang mirip dengan ruang di
dalamnya dan karena umurnya yang jauh lebih tua dibandingkan piramida yang ada
di mesir. Saat ini situs padang masih berada dalam masa pengkajian lebih
lanjut.
Menelusuri
misteri situs Gunung
Padang. Usia "piramida" Gunung Padang diperkirakan
4.700-10.900 tahun sebelum Masehi—bandingkan dengan piramida Giza di Mesir,
yang hanya 2.500 SM. Namun pembuktian belum maksimal, dan ini menyebabkan pakar
geologi masih ragu terhadap "piramida" itu. Terlalu dini untuk
diumumkan. Oleh karena itu Tim Terpadu Riset Mandiri Gunung Padang melanjutkan
penelitiannya pada 2013 ini.[14] Hingga saat
ini Gunung Padang sudah menjadi buah bibir setelah Tim Katastrofi Purba meneliti patahan
gempa Sesar Cimandiri, sekitar empat kilometer
ke arah utara dari situs tersebut.
Kontroversi
merebak setelah Andi Arief merilis ada sejenis piramida di
bawah Gunung Padang pada awal tahun lalu. Dia menyebutkan situs tersebut
memiliki ruang dan seperti buatan manusia. Kecurigaannya berawal dari bentuk
Gunung Padang yang hampir segitiga sama kaki jika dilihat dari utara.
Sebelumnya, Tim juga menemukan bentuk serupa di Gunung Sadahurip di Garut dan Bukit Dago Pakar di Bandung saat
meneliti Sesar Lembang. Andi Arief dan timnya direncanakan terus
melakukan penelitian dan survei untuk mengetahui lebih jauh bawah permukaan
Gunung Padang dengan berbagai metodologi, baik geofisika, arkeologi, paleosedimentasi, arsitektur dan kawasan,
dan lain-lain hingga Maret 2014. Namun, untuk penggalian tidak dilakukan karena
memerlukan biaya yang besar.
Menjelang
akhir tahun 2012, para peneliti Tim Terpadu Riset Mandiri
Gunung Padang mengadakan
pertemuan untuk mengevaluasi hasil riset dan survei pada 2012 dan merencanakan
riset lanjutan di Gunung Padang.[15] Pertemuan yang
diselenggarakan di Kantor Staf Khusus Presiden pada 18 Desember 2012 itu,
menghasilkan pandangan-pandangan baru dari para ahli yang tergabung dalam Tim Terpadu Riset Mandiri
memaparkan dan mendiskusikan temuan-temuan riset dan langkah-langkah ke depan.
Tim Geologi memandang bahwa survei dan kajian yang dilakukan sudah mencapai 99%
telah mendapatkan data lengkap baik data hasil survei geolistrik, georadar, maupun geomagnetik, serta dan alat bantu geofisika lainnya.
Selain tentunya citra satelit, foto IFSAR, kontur dan peta model dijital elevasi (DEM). Dari berbagai data yang dihasilkan itu,
ditambah dengan pembuktian paleosedimentasi di beberapa titik bor
sampling, serta analisa petrografi, secara saintifik bisa disimpulkan
bahwa memang ada man-made structure di bawah permukaan situs
Gunung Padang.
Bangunan di
bawah permukaan ini juga dipastikan memiliki chamber dan bentuk-bentuk struktur lain (dugaan
goa atau lorong), serta kecenderungan adanya anomali magnetik di berbagai lintasan alat geofisika. Temuan
ini makin diperkuat dengan temuan Tim arkeologi yang berhasil menemukan
artefak-artefak di barat dan timur bangunan Gunung Padang juga
tersingkap, terutama di luar situs definitif saat ini. Bahkan temuan awal
artefak berupa batu melengkung di sisi timur situs, menunjukkan dugaan kuat
sebagai “pintu masuk” ke dalam bangunan bawah permukaan Gunung Padang. Temuan
arkeologi ini, merupakan temuan terbaru sejak situs ini pertama kali ditemukan.
Di samping
itu, Tim sipil dan arsitek sudah sampai tahap maju, selain memaparkan berbagai
jenis potongan batu (yang menunjukkan campur tangan manusia dan teknologi masa
itu), juga memaparkan luasan situs yang jauh lebih besar dari yang ada
sekarang. Tim ini sudah menemukan struktur yang hampir mirip dengan temuan di Sumba Nusa Tenggara Barat.
Dalam waktu
dekat struktur imaginer yang lebih detail akan dibuat berdasarkan perbandingan
yang ada. Sementara Tim astronomi akan menyelesaikan temuan timeline tahun
pembuatan yang bisa secara saintifik dilakukan di luar hasil radio-carbon
dating yang sudah dilakukan sampai validasi di dua lab yaitu labpratorium Badan Atom Nasional dan laboratorium radio-carbon di Miami Florida, Amerika Serikat.
Untuk ke
depannya, peneliti akan berkonsentrasi pada lokasi yang berada di luar situs
sehingga bentuk dan isi di dalamnya akan terbuka sekaligus.[16]
Penemuan
Makam Tua
Pada awal
Januari 2013 Tim Arkeologi yang dikomandoi arkeolog muda Universitas Indonesia, Ali Akbar, kembali
merilis temuan 5 makam tua di areal yang kini menjadi objek penelitiannya.
Hanya dua dari lima makam di sisi teras kelima areal situs itu yang memiliki
artefak. Berdasarkan pengamatan, makam tersebut ada di areal situs megalitik sekitar
tahun 1900-an. Dari beberapa makam yang ada, terdapat satu makam yang sedikit
memberikan gambaran mengenai keberadaan makam dari sepasang nisan makam
tersebut. Bila dilihat dari bentuk makamnya maka makam tersebut adalah milik
umat Islam. Satu nisan bertuliskan huruf latin dan
satunya lagi bertuliskan huruf
Arab. Dengan ditemukannya makam tua tersebut, maka ada masyarakat
yang tinggal dan menetap di situ. Kemudian ada jeda sampai NJ Krom menemukan situs tersebut dan
melaporkannya ke pemerintah Belanda
pada 1914.
Pada salah
satu nisan tertera tulisan latin yang menerangkan nama jasad yang dimakamkan
bernama "Hadi Winata" yang wafat pada tahun 1947. Almarhum tertulis
juga wafat pada usia 68 tahun, artinya almarhum lahir pada tahun 1879. Di nisan
lainnya, makam yang sama, tertera pula tulisan Arab, di nisan tersebut terbaca
'prabu' serta terdapat tahun hijriyah,
1356 H. Diperkirakan kemungkinan jasad yang dimakamkan itu merupakan golongan
bangsawan bila sekilas diamati dari nama latin yang tercantum di nisan dan juga
tulisan 'Prabu' di nisan berhuruf Arab. Para peneliti masih terus bekerja untuk
bisa menaksir usia makam lainnya yang ada di areal Gunung Padang.
Penelitian
Lanjutan
Awal
Januari- Maret 2013 Tim Terpadu Riset Mandiri
yang dipimpin oleh Dr. Danny Hilman Natawidjaja
(ahli kebumian), Dr. Ali
Akbar (arkeolog), Dr. Andang Bachtiar (paleosedimentolog)
kembali melakukan penelitian dan survei lanjutan, menyatakan bahwa, di bawah
permukaan Gunung Padang: Ada struktur geologi tak alamiah, dengan hipotesis
Teknologi canggih zaman purba. Untuk membuktikan hal tersebut, dilakukan
penggalian arkeologi dan survei geolistrik detil di sekitar penggalian lereng
timur bukit, di luar pagar situs cagar budaya.
Tim Dr. Ali
Akbar menemukan bukti yang mengkonfirmasi hipotesa tim bahwa di bawah tanah
Gunung Padang ada struktur bangunan buatan manusia yang terdiri dari susunan
batu kolom andesit, sama seperti struktur teras batu yang sudah tersingkap, dan
dijadikan situs budaya di atas bukit. Terlihat di kotak gali permukaan fitur,
susunan batu kolom andesit ini sudah tertimbun lapisan tanah setebal setengah
sampai dua meter yang bercampur bongkahan pecahan batu kolom andesit. Kotak
gali arkeologi tim tersebut memperlihatkan permukaan bangunan yang disusun dari
batu-batu kolom andesit yang sudah tertutup oleh lapisan tanah dengan
bongkah-bongkah pecaan batuan. Batu kolom ini posisinya memanjang sejajar
lapisan.
Batu-batu
kolom andesit disusun dengan posisi mendekati horisontal dengan arah memanjang
hampir barat-timur (sekitar 70 derajat dari utara ke timur - N 70 E), sama
dengan arah susunan batu kolom di dinding timur-barat teras satu, dan undak
lereng terjal yang menghubungkan teras satu dengan teras dua. Dari posisi
horisontal batu-batu kolom andesit dan arah lapisannya, dapat disimpulkan
dengan pasti, bahwa batu-batu kolom atau “columnar joints” ini bukan dalam
kondisi alamiah. Batu-batu kolom hasil pendinginan dan pelapukan batuan
lava/intrusi vulkanis di alam maka arah memanjang kolomnya akan tegak lurus
terhadap arah lapisan atau aliran seperti ditemukan di banyak tempat di dunia.
Kenampakan susunan batu-kolom yang terkuak di kotak gali memang terlihat sangat
rapi dan menyerupao kondisi alami.
Di akhir
2012 lalu, tim arkeolog lain yang bekerja terpisah dan sudah ikut menggali
menyimpulkan batu-batu kolom andesit di bawah tanah Gunung Padang merupakan
sumber batuan alamiahnya; mungkin karena mereka belum mempertimbangkan aspek
geologinya dengan lengkap, dan juga tidak mengetahui data struktur bawah
permukaan seperti diperlihatkan oleh hasil survei geolistrik.
Semen purba
Di antara
batu-batu kolom, ditemukan material pengisi yang disebut sebagai semen purba.
Material ini menata dan menyatukan batu kolom yang sudah pecah
berkeping-keping.[17] Makin ke bawah
kotak gali, semen purba ini terlihat makin banyak, dan merata setebal 2
sentimeteran di antara batu-batu kolom. Selain di kotak gali, semen purba ini
juga sudah ditemukan pada tebing undak antara teras satu dan dua, dan juga pada
sampel inti bor dari kedalaman 1 sampai 15 meter dari pemboran yang dilakukan
oleh tim pada tahun 2012 lalu di atas situs.
Ahli geologi
tim dan juga pembina pusat Ikatan Ahli Geologi Indonesia pusat, DR. Andang
Bachtiar, berdasarkan hasil analisis kimia yang dilakukannya pada sampel semen
purba dari undak terjal teras satu ke dua, menemukan fakta bahwa komposisi yang
terkandung di dalam semen tersebut sangat kuat sebagai perekat. Material semen
ini mempunyai komposisi utama 45% mineral besi dan 41% mineral silika, 14% mineral lempung,
dan juga unsur karbon.
Barangkali
ia menggabungkan konsep membuat resin,
atau perekat modern dari bahan baku utama silika, dan penggunaan konsentrasi
unsur besi yang menjadi penguat bata merah. Tingginya kandungan silika
mengindikasikan semen ini bukan hasil pelapukan dari batuan kolom andesit di
sekelilingnya yang miskin silika. Kemudian, kadar besi di alam, bahkan di
batuan yang ada di pertambangan mineral bijih sekalipun umumnya tak lebih dari
5% kandungan besinya, sehingga kadar besi “semen Gunung Padang” ini berlipat
kali lebih tinggi dari kondisi alamiah.
Oleh karena
itu dapat disimpulkan material di antara batu-batu kolom andesit ini adalah
adonan semen buatan manusia. Artinya, teknologi masa itu kelihatannya sudah
mengenal metalurgi. Andang
menjelaskan, bahwa satu teknik umum untuk mendapatkan konsentrasi tinggi besi
adalah dengan melakukan proses pembakaran dari hancuran bebatuan dengan suhu
sangat tinggi. Mirip pembuatan bata merah, yaitu membakar lempung kaolinit dan
illit untuk menghasilkan konsentrasi besi tinggi pada bata tersebut.
Metalurgi
purba
Indikasi
adanya teknologi metalurgi purba diperkuat lagi oleh temuan segumpal material
seperti logam sebesar 10 cm oleh tim Ali Akbar pada kedalaman 1 meter di lereng
timur Gunung Padang. Material logam berkarat ini mempunyai permukaan kasar
berongga-rongga kecil dipermukaannya. Diduga material ini adalah adonan logam
sisa pembakaran (“slug”) yang masih bercampur dengan material karbon yang
menjadi bahan pembakarnya, bisa dari kayu, batu bara atau lainnya.
Rongga-rongga itu kemungkinan terjadi akibat pelepasan gas CO2 ketika
pembakaran.
Hasil
analisis radiometrik dari kandungan unsur karbonn pada beberapa sampel semen di
bor inti dari kedalaman 5 – 15 meter yang dilakukan pada 2012 di laboratorium
bergengsi BETALAB, Miami, USA pada pertengahan 2012 menunjukan umur dengan
kisaran antara 13.000 sampai 23.000 tahun lalu. Kemudian, hasil carbon dating
dari lapisan tanah yang menutupi susunan batu kolom andesit di kedalaman 3-4
meter di Teras 5 menunjukkan umur sekitar 8700 tahun lalu.[18]
Sebelumnya hasil
carbon dating yang dilakukan di laboratorium BATAN dari pasir dominan kuarsa
yang mengisi rongga di antara kolom-kolom andesit di kedalaman 8-10 meter di
bawah Teras lima, juga menunjukkan kisaran umur sama yaitu sekitar 13.000 tahun
lalu. Fakta itu sangat kontroversial karena pengetahuan yang diyakini peneliti
saat ini belum mengenal atau mengakui ada peradaban (tinggi) pada masa purba
itu, di manapun di dunia. Penemuan tersebut memunculkan dugaan bahwa di masa
prasejarah Indonesia, telah hidup peradaban yang menyerupai kemajuan peradaban
Mesir saat pembangunan piramida.
Struktur
bangunan dari susunan batu-batu kolom berdiameter sampai 50 cm dengan
panjang bisa lebih dari 1 meter ini sudah sangat spektakuler karena
bagaimanakah masyarakat purbakala dapat menyusun batu-batu besar yang sangat
berat ini demikian rapi dan disemen pula oleh adonan material yang istimewa.
Selanjutnya survei geolistrik yang dilakukan di sekitar lokasi pengalian oleh
tim geologi/geofisika dari LabEarth LIPI, menguak fakta baru mengenai bangunan
purba di bawah permukaan ini. Survei terbaru ini adalah survei mendetail
sebagai lanjutan dari puluhan lintasan survei geolistrik 2-D, 3-D dan survei
georadar yang sudah dilakukan pada tahun 2011, 2012 dan awal 2013 di sekujur
badan Gunung Padang, dari kaki sampai puncak bukit. Hasil survei geolistrik
memperlihatkan bahwa lapisan susunan batu kolom yang terlihat di kotak gali
keberadaannya dapat diikuti terus sampai ke atas bersatu di bawah badan situs
Gunung Padang di atas bukit, dan juga melebar sampai jauh ke kaki bukit.
Penampang
struktur bawah permukaan berdasarkan resistivitas batuan dari lintasan
geolistrik melewati kotak gali (testpit) arkeologi. Lapisan bangunan dari
susunan kolom andesit terlihat menerus ke bagian bawah dari situs di atas bukit
dan juga ke kaki bukit. Di bawahnya terlihat geometri unik yang diduga masih
bangunan. Peralatan survey memakai Supersting R8 dan software Earth Imager.
Model di atas memakai metoda Average Resistivity. Nilai RMS menunjukkan bahwa
hasil simulasi dari model ini mempunyai perbedaan/tingkat kesalahan hanya 4%
dibandingkan dengan data hasil survey.
Batuan Lava
Seorang ahli
arsitektur Pon Purajatniko, anggota tim terpadu yang juga pernah menjabat Ketua
Ikatan Ahli Arsitektur Jawa Barat, menyatakan bahwa struktur teras-teras Gunung
Padang mirip situs Machu
Picchu di Peru.
Sampai saat
ini penggalian dilakukan baru sampai kedalaman 4 meteran saja, namun survei
geolistrik memperlihatkan di bawahnya masih ada kenampakan struktur bangunan
dengan geometri yang terlihat menakjubkan sampai kedalaman lebih dari 10 meter.
Hasil survei geolistrik, dan georadar juga sudah dapat memperlihatkan struktur
(geologi) bawah permukaan yang membentuk morfologi bukit Gunung Padang adalah
lapisan batuan dengan ketebalan 30-50 meter yang mempunyai nilai tahanan listrik
(resistivitas) sangat tinggi (ribuan Ohm-Meter) berbentuk seperti lidah dengan
posisi hampir horisontal, selaras dengan bukit memanjang utara-selatan, dan
miring landai ke arah utara. Jadi selaras juga dengan undak-undak teras yang
dibangun di atasnya.
Lapisan batu
berbentuk seperti lidah ini juga mempunyai bidang miring yang rata ke arah
barat dan timur bukit selaras dengan kemiringan lerengnya. Lapisan lava ini
berada pada kedalaman lebih dari 10 meter di bawah permukaan. Dari data
pemboran yang dilakukan oleh Dr. Andang Bachtiar dan juga analisis mikroskopik
batuan dari sampel inti bor yang dilakukan oleh DR. Andri Subandrio, ahli
geologi batuan gunung api dari Laboratorium Petrologi ITB, dapat dipastikan
tubuh batuan dengan resistivitas tinggi ini adalah batuan lava andesit, sama
seperti tipe batu kolom dari situs Gunung Padang. Hal lain cukup menarik dari
analisa petrologi adalah temuan banyaknya retakan-retakan mikroskopik pada
sayatan tipis batu kolom andesit yang diduga non-alamiah karena retakan itu
memotong kristal-kristal mineral penyusunnya.
Dari banyak
penampang geolistrik, terlihat lidah lava andesit ini mempunyai leher intrusi
(sumber terobosan batuan vulkanis dari bawah) berlokasi di area lereng selatan
dari situs Gunung Padang. Jadi setelah cairan panas intrusi magma mencapai
permukaan kemudian mengalir ke utara, dan setelah mendingin membentuk lidah
lava tersebut. Yang masih menjadi pertanyaan adalah adalah apakah tubuh batuan
lava di perut Gunung Padang ini adalah sumber dari batu-batu kolom andesit yang
dipakai untuk menyusun situs? Kemungkinan hal ini benar karena sampai saat ini
tidak ditemukan ada sumber batuan kolom andesit dalam radius beberapa kilometer
dari Gunung Padang. Masalahnya tidak ada bekas-bekas penambangan, atau lapisan
lava yang tersingkap di area Gunung Padang.
Jadi,
apabila orang berhipotesa bahwa sumber batuannya dari dalam bukit, maka mau
tidak mau harus juga mengasumsikan dulunya lapisan lava itu pernah tersingkap,
atau ditambang oleh manusia purba, kemudian baru batu-batu kolom yang sudah
diambil lalu disusun-ulang untuk menutupi sekujur badan lava menjadi satu
mahakarya monumen arsitektur besar yang luar biasa.
Perlu juga
dicatat bahwa mengekstraksi batu-batu kolom andesit dari batuan induknya
bukanlah hal mudah karena harus dapat memisahkan batu-batu besar dan berat
tersebut dengan utuh dari batuan induknya dalam jumlah sangat besar. Hal ini
berbeda dengan penambangan batuan biasa yang tidak perlu kuatir dengan batu
yang pecah dan dapat dilakukan dengan dengan peledakan dinamit. Pada abad kini
atau ratusan tahun sebelumnya, di dunia ini tak pernah ada penambangan
batu-batu kolom andesit untuk dipakai sebagai bata bangunan.
Perkembangan
penelitian situs Gunung Padang
Tim Terpadu
Riset Mandiri masih terus melakukan eskavasi (pemboran) untuk membuktikan
keberadaan struktur bangunan dan ruang-ruang di bawah kedalaman 4-5 meter.
Sleain itu, perkiraan umur situs juga masih diteliti dengan memeriksa
sampel-sampel dari situs ini. Dugaan sementara adalah situs Gunung Padang ini
tidak dibangun dalam satu masa, tetapi melibatkan beberapa kebudayaan.
Misalnya, yang membuat batu-batu kolom menjadi menhir-menhir, belum tentu sama
dengan masyarakat yang membuat susunan batu-batu kolom dengan semen purba.
Demikian juga bangunan susunan batu kolom andesit di permukaan, atau yang sudah
tertimbun beberapa meter di bawah, belum tentu dibangun satu masa dengan
struktur bangunan di bawahnya lagi. Situs ini dapat menjadi bukti peradaban tertua
manusia yang tanpa diketahui hilang dari informasi pra-sejarah Indonesia.[19]
Temuan Besar
Pertama Sejak Indonesia Merdeka
Sejak tahun
1998 Situs Gunung Padang sudah menjadi cagar budaya berdasarkan Kepmendikbud
tahun 1998 dan dikenal sebagai situs megalitik yang menempati area seluas
3.094,59m2 di puncak bukit, berupa struktur teras‐teras yang disusun batu‐batu
kolom (columnar joint rocks). Situs ini sudah mulai diteliti oleh Arkenas,
Balar Arkeologi (BALAR) dan institusi lainnya sejak tahun 1980‐an dan terus
berlanjut setelah 1998 sampai tahun 2014. Sejalan dengan itu situs ini juga
sudah dijadikan tempat wisata. Walaupun situs megalitik ini sebetulnya sangat
unik, cukup besar, dan berada pada lokasi yang sangat asri, namun sampai tahun
2011 masih jarang dikunjungi wisatawan.
Baru setelah
Tim Terpadu Riset Mandiri (TTRM) melakukan penelitian sejak Oktober 2011 dan
kemudian giat mempublikasikan hasil penelitiannya ke meda-massa (scientific
journalism) yang cukup mengejutkan dan menuai kontroversi, maka situs Gunung
Padang mulai ramai dikunjungi masyarakat berbagai kalangan dari berbagai
daerah. Dari pengunjung yang hanya puluhan menjadi ribuan setiap minggunya.
Sekarang, situs Gunung Padang sudah menjadi buah bibir dimana-mana diberbagai
kalangan baik di dalam negeri ataupun luar negeri.
TTRM adalah
yang pertama di Indonesia merintis penelitian dalam wilayah cagar budaya dengan
pendekatan multi disiplin dan menggunakan hampir semua teknologi pemindaian
permukaan dan bawah permukaan yang biasa dipakai dalam disiplin ilmu geologi
dan geofisika.
Sebenarnya
pendekatan dan teknologi yang digunakan ini sudah dilakukan di dunia
internasional dan sudah masuk dalam materi perkuliahan di bidang arkeologi,
namun untuk Indonesia prakteknya masih sangat langka. Hal ini menjadi salah
satu alasan kenapa penelitian TTRM menjadi kontroversi, khususnya di kalangan
ahli arkeologi bahkan juga ahli geologi.
Selain
penggunaan konsep dan metoda baru sejak ditemukannya situs‐situs besar budaya
pada masa pemerintahan Inggris dan Belanda, seperti Candi Borobudur dan
Trowulan , belum pernah ada lagi temuan monumen besar peradaban masa lalu
sehingga temuan monumen besar di bawah permukaan situs Gunung Padang. Temuan
ini boleh dibilang menjadi temuan besar pertama sejak zaman kemerdekaan
Indonesia. Hal ini tentu juga menyebabkan banyak kekagetan dan 'kecanggungan'
dalam menyikapi dan menindaklanjutinya.
Temuan baru
hasil penelitian TTRM sejak tahun 2011 sampai awal 2014 adalah sebagai berikut:
1)
Penyebaran lateral situs megalitik (Lapisan 1) meliputi seluruh bukit
Hasil survei
lapangan dan pemindaian struktur bawah permukaan hasil survei geolistrik dan
georadar dan juga survei arkeologi permukaan memperlihatkan bahwa Lapisan-1
melampar tidak hanya di bagian atas bukit seperti yang didefinisikan oleh
Kemendikbud 1998. Namun melampar jauh sampai ke badan bukit seluas 15 hektar
(±150.000 m2), bahkan jika diukur dengan bagian 'halaman' situs mencapai
29 hektar.
2) Temuan
Lapisan Batuan artifisial (lapisan bangunan) di bawah permukaan
Di bawah
permukaan masih terdapat Lapisan-2 yang tersusun dari kolom‐kolom batu yang
serupa dengan yang di atas permukaan, namun tertata lebih rapih dan kompak
serta terdapat matriks perekat diantara batu‐batu kolomnya hingga kedalaman 4‐5m.
Di bawah Lapisan-2 hingg kedalaman 15 meter masih terdapat susunan lapisan batu‐batu
kolom yang diduga masih artifisial atau lapisan bangunan, disebut sebagai
Lapisan-3 dan Lapisan-4.
3) Temuan
Lapisan 4
Formasi
batuan lava andesit alamiah yang diduga sudah dibentuk menjadi bagian inti dari
bangunan. Pemboran geologi menembus tubuh batuan lava andesit di kedalaman 15
meter sesuai dengan hasil pemindaian georadar, geolistrik, dan seismik
tomografi. Tubuh lava ini kemungkinan merupakan formasi batuan alamiah Gunung
padang tapi sudah dipahat oleh manusia menjadi bagian inti dari bangunan Gunung
Padang.
4) Dugaan
keberadaan rongga‐rongga di bawah permukaan
Keberadaan
rongga‐rongga besar di bawah permukaan diindikasikan dengan konsisten dari
banyak Lintasan georadar dan geolistrik 2D, 3D dan seismik tomografi. Kemudian,
pada dua lokasi pemboran di sisi selatan (GP‐2) dan sisi timur (GP‐4) di
Teras-5 mengalami “partial” dan “total waterloss” dari sirkulasi air bor
(32.000 liter air).
5) Temuan
lapisan tanah timbun
Lapisan
tanah yang menutup permukaan atas bukit Gunung Padang dominan berupa tanah
timbun, bukan residual soil. Hal ini jelas terlihat karena tidak adanya gradasi
pelapukan dari tanah di atasnya ke Lapisan-2, namun miliki kontak 'tegas'.
Fakta lain yang mengejutkan, sisi selatan Teras-5 ternyata ditimbun setebal 7
meter, ditunjukan oleh eskavasi sedalam 3 meter, dan pemboran di GP‐2 (mencapai
kedalaman 15 meter).
6) Analisa
baru untuk pentarikhan Umur‐umur absolut (lapisan‐lapisan) situs
dengan Carbon Dating
Penelitian
terdahulu dari tahun 1980 sampai 2011 tidak pernah lakukan penentuan umur situs
secara absolut, melainkan hany berdasarkan 'perkiraan' dengan
mengklasifikasikan Situs Gunung Padang sebagai produk budaya megalitik dari
zaman pra‐sejarah sesuai dengan literatur yang ada dan amat terbatas. Dalam hal
ini baru TTRM yang pertamakali dan masih satu‐satunya yang melakukan penentuan
umur absolut situs dengan metoda karbon dating, terlepas dari kekurangannya.
Hasil sementara mengindikasikan bahwa umur situs Lapisan-1 berkisar 500‐100 SM
atau lebih muda, Lapisan-2 sekitar 5000 SM, dan Lapisan di bawahnya lebih tua
dari 8000 SM. Umur karbon tertua yang diambil dari sampel tanah diantara
lapisan batuan, yakni berumur 26.000 tahun. Analisis lebih detil dan
komprehensif diperlukan untuk verifikasi.
Setelah
melalui perjalanan panjang dan berliku‐liku akhirnya pada tanggal 17 Agustus
2014 dibentuk Tim Nasional untuk Pelestarian dan Pengelolaan Situs Gunung
Padang, berdasarkan Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan nomor
225/P/2014. Tim nasional ini terdiri dari para peneliti yang berasal dari TTRM
ditambah para ahli dari berbagai institusi di seluruh Indonesia. Kemudian
berdasarkan perintah Presiden kepada Kepala Staf Angkatan Darat, dan penugasan
dari Mendikbud, serta dukungan penuh dari Direktur Pelestarian Cagar Budaya dan
Permuseuman (PCBM) selaku Ketua Timnas kepada para peneliti, maka sejak 12
Agustus sampai dengan 2 Oktober 2014 dilakukan kegiatan penelitian bekerjasama
dengan TNI‐AD. Peran serta TNI dalam hal ini, yakni membantu secara teknis
dalam pelaksanaan penelitian dalam kerangka program karya bakti sosial
untuk menunjang kegiatan penelitian, membantu masyarakat setempat, serta
merenovasi infrastruktur pendukung situs.
Kegiatan
penelitian ini dimaksudkan untuk akselerasi riset dalam menuntaskan pembuktian
temuan‐temuan baru TTRM dan persiapan pra‐pemugaran serta pengembangan kawasan,
sesuai dengan amanat yang termuat dalam Keputusan Gubernur Jawa Barat nomor
430.05/Kep.302‐Disparbud/2014, dan nomor: 30.05/Kep.303‐Disparbud/2014, serta
arahan Presiden RI yang disampaikan langsung di Gunung Padang pada 25 Februari
2014. Selain itu, penelitian ini juga dimaksudkan sebagai penelitian awal, yang
hasilnya akan dijadikan masukan yang akan ditindaklanjuti Tim Nasional Gunung
Padang agar dapat bergerak lebih cepat dalam menginisiasi program kerja
penelitian tim nasional ke depan.
Atas
ketekunan dan kerja keras para peneliti dan pasukan TNI, kegiatan penelitian
berjalan dengan baik, lancar, sangat efisien dan produktif. Walaupun dengan
peralatan dan dana masih menggunakan secara swadaya (mandiri). Hanya dalam
waktu relatif singkat (2 bulan) tim peneliti berhasil membuat kotak gali geologi‐arkeologi
sebanyak 11 buah (termasuk bekas tebing longsor yang dibersihkan) di berbagai
lokasi situs dan pemboran geologi di tiga lokasi yang di‐desain untuk
membuktikan hasil penelitian TTRM. Lokasi ekskavasi dinamakan: Alpha, Beta‐1,
Beta‐2, Charlie‐1, Charlie‐2, Charlie‐3, Charlie‐4 Delta, Echo‐1, Echo‐2, dan
Fanta dengan kedalaman eskavasi bervariasi, dari 2 s.d. 5 meter, kecuali Echo‐1
sampai 11 meter. Khusus Beta‐2, tidak dikatakan kotak gali, melainkan muka
tebing longsor yang dibersihkan dari semak-belukar, sehingga dapat terlihat
struktur lapisan tanah dan batuannya untuk mendapatkan data dan kemudian
dianalisa. Lokasi pemboran dinamakan: GP‐5 (di Teras-5), GP‐6 dan GP‐7 (di
Teras-2) dengan kedalaman bervariasi secara berurutan, 35 meter, 22
meter, dan 22 meter, yang dilakukan untuk melengkapi data 4 lokasi pemboran
sebelumnya (GP‐1, 2, 3, 4, pada 2012, 2013).
Hasil
eskavasi dan pemboran berhasil membuktikan temuan‐temuan TTRM. Hasil
pembersihan lereng‐lereng dari semak‐belukar dan pepohonan liar, yang kemudian
dilanjutka dengan pemotretan udara 3D digital dengan menggunakan pesawat drone,
kamera Go‐Pro dan AGI Software dapat memperlihatkan bentuk bukit Gunung Padang
secara utuh. Hasil fotografi udara tersebut, secara nyata memperlihatkan
sebagian terasering lapisan batuan kolom di badan bukit, serta mengesankan
keberadaan bangunan struktur mirip piramida di bawah bukit. Selain itu, hasil
penelitian pada kotak ekskavasi berhasil membuktikan secara nyata dan tuntas
tanpa keraguan keberadaan lapisan batuan artifisial atau bangunan yang
tertimbun tanah di bawah permukaan situs megalitik di atas bukit dan juga di
lereng‐lerengnya.
Pada
kegiatan kali ini yang menjadi fokus pembuktian adalah Lapisan-2 yang hanya
tertimbun tidak lebih dari 2‐3 meter di bawah permukaan tanah. Struktur
bangunan ini terbukti ada, dan melampar di bawah situs megalitik di atas bukit
sampai ke lereng badan bukitnya. Orientasi batu‐batu kolomnya sangat teratur,
kokoh dan rapih, nyaris sepintas seperti struktur "columnar joint"
alamiah (collonade). Perbedaan tegas antara batu kolom yang tersusun secara
artificial dan yang tersusun secara alamiah adalah: struktur "columnar
joint" alamiah terbentuk ketika lava atau cairan magma membeku arah
memanjang kolomnya selalu tegak lurus permukaan pendinginan (=bidang lapisan),
dan hubungan antar bidang kolomnya saling mengunci (interlocking), sangat
rapat, tanpa terisi matriks. Sedangkan di Gunung Padang batuan kolomnya sejajar
bidang lapisan, antar bidang permukaan kolom tidak selalu saling mengunci, dan
selalu dipisahkan oleh matriks (perekat atau semen) rata‐rata setebal 5‐10cm,
disusun secara baik (artificial/man-made) oleh manusia pembangunnya.
Geometri dan
struktur susunan batuan artifisial, khususnya lapisan 2 dibuktikan oleh
eskavasi dan rekonstruksi bawah permukaan.
Disamping
itu, bukti arkeologis/arsitektur yang mendukung adalah ditemukan banyak artefak
batu yang berfungsi sebagai pasak‐pasak atau kolom‐kolom batu yang sudah
dipahat membentuk geometri tertentu, yang diduga berfungsi sebagai 'pengunci'
susunan batu, serta aspek‐aspek struktur artifisial bangunan. Selain itu,
ditemukan juga banyak artefak sangat unik lainnya pada kedalaman 1-2 meter
dibawah permukaan di mana Lapisan-2 berada. Di bagian Teras-1 dan Teras-5,
terlihat orientasi struktur kolom batu tegak lurus dengan arah memanjang situs.
Di atas bukit batu‐batu kolom ini, umumnya horisontal sedangkan di lereng barat
dan timur membentuk sudut sekitar 10‐150 derajat, searah dengan kemiringan
lerengnya. Di pawah permukaan pada galian ekskavasi di Teras-2 dan lereng timur
batu‐batu kolom ini secara unik disusun membentuk sudut sekitar 150 (sudut
tajam menghadap utara). Tahap selanjutnya, perlu dilakukan eskavasi lebih
ekstensif lagi untuk mengetahui arsitektur bangunan lebih detil dan
komprehensif.
Dalam
kegiatan ini sudah dilakukan usaha sistematis untuk meneliti keberadaan ruang‐ruang
di bawah permukaan, dan sudah mulai dilakukan. Hasilnya sudah didapatkannya
titik terang namun belum dapat dituntaskan karena keterbatasan waktu. Untuk
melanjutkannya, dibutuhkan waktu yang cukup, peralatan memadai, serta didukung
data bawah permukaan dan ekskavasi yang lebih ekstensif.
Gunung
Padang Piramida khas Nusantara
Terbuktinya
struktur bawah permukaan situs Gunung Padang, menunjukkan bahwa temuan ini
bukan situs megalitik cagar budaya biasa. Melainkan sebuah temuan monumen
bangunan raksasa yang unik dan luarbiasa dari leluhur bangsa Nusantara ribuan
tahun sebelum masehi. Bentuknya mirip dengan struktur piramida tapi tidak sama
dengan piramida di Mesir atau di Amerika selatan (peradaban Maya ataupun
Mexico). Monumen peradaban maju zaman prasejarah ini layak disebut sebagai
"Piramida khas Nusantara". Eksplorasi belum selesai namun bisa
dipastikan di dalamnya masih banyak menyimpan misteri warisan budaya
"beyond imagination".
Ke depan
karena akan memerlukan proses eskavasi yang sangat intensif maka disarankan
mulai masuk ke tahap pemugaran bersamaan dengan penelitian lanjutan,
penanganannya harus dilakukan secara multi‐disipliner dan lintas sektoral karena
menyangkut banyak aspek dan kepentingan. Termasuk aspek vital‐strategisnya
untuk dijadikan kebanggaan nasional dan simbol jati diri bangsa yang besar dan
luhur. Lebih jauh lagi, temuan besar di Gunung Padang dapat menjadi awal dan
model untuk eksplorasi‐penelitian lebih luas dalam mengungkap kekayaan warisan
leluhur di seluruh wilayah Indonesia.
0 komentar:
Posting Komentar