Menurut laman Daily Mail, Jumat 29 Agustus 2014, fenomena
itu tertangkap teleskop saat para ilmuwan secara rutin melakukan
pengamatan terhadap sebuah bintang yang mereka sebut NGC 2547-ID8. Pada
pengamatan antara Agustus 2012 hingga Januari 2013 itu, para ilmuwan
melihat kepulan debu yang sangat besar.
"Kami pikir dua asteroid besar saling bertumbukan, menciptakan awan
besar yang terdiri dari butiran pasir sangat halus," kata Huang Meng,
penulis sekaligus mahasiswa dari Universitas Arizona, Tuscon, Amerika
Serikat. Dia menambahkan, asteroid yang bertumbukan itu hancur
berkeping-keping dan tengah menjauh dari bintang muda itu.
Sementara, debu yang diduga sebagai hasil tumbukan asteroid itu
sebelumnya telah diamati oleh Teleskop Spitzer. Ini merupakan pertama
kali ilmuwan mengumpulkan data sebelum dan sesudah terjadi benturan.
Pemandangan itu memberikan gambaran proses pembentukan planet berbatu
seperti Bumi yang kita huni ini. Menurut para peneliti itu, planet
berbatu memulai kehidupan dengan debu yang berputar-putar di sekitar
bintang muda.
Tumbukan antara dua asteroid itu menghasilkan gumpalan material.
Meski asteroid sering hancur, beberapa menjadi tumbuh dari waktu ke
waktu dan berubah menjadi proto-planet.
Baru setelah lebih dari 100 juta tahun kemudian, objek itu menjadi
lebih matang, membentuk planet. Bulan kita, yang menjadi satelit bagi
Bumi, menjadi benda langit yang diyakini terbentuk dari efek benturan
besar antara proto-Bumi dan objek angkasa yang ukurannya sebesar planet
Mars.
Dalam studi baru, Spitzer memasang infra merah untuk mencari sumber
panas pada kumpulan debu yang berada di sekitar NGC 2547-ID8, bintang
yang berumur sekitar 35 juta tahun dan berjarak sekitar 1.200 tahun
cahaya di Konstelasi Vela.
Ledakan di luar angkasa yang ditangkap Spitzer
Sumber foto: Daily Mail
Pengamatan sebelumnya telah merekam variasi debu di sekitar bintang,
yang mengisyaratkan tengah berlangsung tabrakan asteroid. Dengan
berharap menyaksikan dampak yang lebih besar, yang menjadi kunci
kelahiran planet kehidupan, para astronom terus menggunakan Spitzer
untuk mengamati bintang muda itu secara rutin.
Mulai Mei 2012, teleskop NASA itu mulai melihat bintang itu.
Perubahan dramatis bintang itu terjadi sejak Spitzer tak bisa melihat
NGC 2547-ID8 karena terhalang oleh matahari.
Saat Spitzer kembali mengamati bintang muda itu lima bulan kemudian,
tim ilmuwan itu terkejut dengan data yang mereka dapatkan. "Kami tidak
hanya menyaksikan apa yang tampaknya menjadi puing-puing sebuah benturan
besar, tapi juga bisa melacak bagaimana ini berubah," kata Kate Su,
penulis dari Universitas Arizona.
Kate menambahkan, perubahan yang ditangkap Spitzer itu menunjukkan
gumpalan material terlihat terus memudar, terus menghancurkan
material-material hingga berbentuk lebih kecil dan gumpalan itu bergerak
menjauh dari bintang muda NGC 2547-ID8.
"Spitzer merupakan teleskop terbaik untuk memonitor bintang secara
reguler dan tepat untuk perubahan kecil dengan infra merah dalam waktu
berbulan-bulan dan bahkan tahunan," kata Kate Su.
Dari pengamatan tersebut juga diketahui bahwa awan yang terbentuk
dari material yang diduga hasil benturan meteorit itu sekarang mengorbit
pada bintang muda dalam zona di mana planet berbatu terbentuk.
Pengamatan para ilmuwan pada sistim bintang itu juga menunjukkan,
sinyal infra merah dari awan ini bervariasi jika dilihat dari Bumi.
Misalnya, jika terlihat memanjang, maka sebagian besar permukaannya
terlihat dan sinyalnya tampak lebih besar.
Sementara, jika yang terlihat, atau yang menghadap ke Bumi, merupakan
bagian kepala atau ekor dari gumpalan debu, maka sinar inframerah
terlihat meredup.
Dengan mempelajari osilasi inframerah, tim ilmuwan ini mengumpulkan
data pertama pada proses yang detil dan hasil dari tumbukan yang
membentuk planet berbatu seperti Bumi.
"Kita sedang melihat proses pembentukan planet berbatu terjadi tepat
di depan kita," kata George Rieke, co-writer studi baru ini, yang juga
peneliti dari Universitas Arizona.
Ini merupakan kesempatan unik untuk mempelajari proses yang dekat dengan real time," tambah Rieke.
Saat ini, tim ilmuwan ini tetap memantau bintang itu dengan Spitzer.
Mereka akan melihat seberapa lama gumpalan debu itu bertahan, yang akan
membantu mereka menghitung seberapa sering peristiwa tersebut terjadi di
sekitar bintang ini dan bintang lainnya.
Dan mungkin juga mereka akan melihat kembali tumbukan lainnya melalui Teleskop Spitzer yang supercanggih tersebut.
0 komentar:
Posting Komentar